Jumat, 04 Maret 2011

BIBIR SUMIATI, TKI ASAL NTB

Berita terbaru kekerasan terhadap perempuan dialami oleh Sumiati binti Salan Mustapa, TKI asal Nusa Tenggara Barat. Kali ini si korban yang baru bekerja selama tiga bulan di rumah majikannya itu, “kebagian” jatah bibir atasnya hilang karena siksa majikannya di Arab Saudi. Bukan cerita yang baru sebenarnya, karena tahun ini saja ada 5.563 TKI yang mendapatkan tindak kekerasan oleh induk semangnya. Ya memang, kasus penganiayaan TKI/TKW bukan suatu masalah baru lagi di negeri kita. Bahkan mereka sering dikatakan “pahlawan devisa” oleh pemerintah. Pahlawan yang kedatangannya di bandara pun dibedakan tempat transitnya, ya mereka menyebutnya pahlawan.
Sepertinya deretan kata maraknya isu kekerasan terhadap perempuan, menjadi suatu rangkaian kata yang sangat populer dalam beberapa tahun belakangan di negeri ini. Ironis sekali, disaat jaman semakin melaju dengan kemoderenannya, masih saja media kanan kiri dirajalela dengan berita-berita yang menyudutkan kaum perempuan. Bahkan prinsip rasionalitas, demokrasi, dan humanisme yang seharusnya dapat menekan tindak kekerasan, malah menjadi sebuah fenomena yang tak pernah terpisahkan.
Beragam tindak kekerasan tertuju manis untuk si perempuan tanpa pandang. Mulai dari tindakan kriminalitas, kerusuhan, perusakan moral, pemerkosaan, penganiayaan, pelecehan seksual dan seabrek kekerasan lain yang membayangkannya pun sanggup membuat tubuh bergidik ngeri. Sampai perbincangan tentang kekerasan terhadap perempuan menjadi wacana baru tersendiri. Berkembang dengan tidak hanya menjadi suatu pertukaran argumen belaka namun menjadi suatu gerakan sosial permulaan.
Mari mengintip sebuah penelitian kriminalitas yang dilakukan di Inggris dan Wales pada tahun 1985 (Hough and Mayhew, 1985). Penelitian ini menghasilkan bahwa lebih dari setengah dari responden perempuan menyatakan merasa tidak aman apabila berjalan sendiri di kegelapan dibandingkan dengan responden laki-laki. Penelitian ini menunjukkan bahwa perempuan masih dijadikan sasaran utama untuk tindak kejahatan (Natalia, 2009).
Mendukung penelitian Hough dan Mayhew, ANTARANews melangsir, kasus terhadap perempuan di Indonesia naik 263% dibandingkan tahun sebelumnya. Kekerasan ini dipicu oleh beberapa faktor dominan, antara lain kemiskinan yang mengakibatkan tingkat stress tinggi, banyaknya unemployment, banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK), dan kurangnya pendidikan kaum perempuan.
Konsep penting yang perlu dipahami dalam rangka membahas masalah kaum perempuan adalah membedakan antara konsep seks (jenis kelamin) dan konsep gender. Pemahaman dan pembedaan terhadap kedua konsep tersebut sangat diperlukan dalam melakukan analisis untuk memahami persoalan-persoalan  ketidakadilan sosial yang menimpa kaum perempuan (Mansour, 1996).
Kembali lagi kepada kasus-kasus penindasan terhadap perempuan, terlebih pada kasus TKI. Ada empat aliran yang masing-masing asumsinya ketika mereka berusaha menjawab pertanyaan mengapa kaum perempuan tertindas dan tereksploitasi, yaitu liberalis, radikalis, marxis dan sosialis.
Golongan liberalis berasumsi bahwa kebebasan dan keadilan berakar pada rasionalitas dan “perempuan adalah makhluk yang rasional” juga. Mereka menganggap, keterbelakangan dan ketidakmampuan kaum perempuan bersaing dengan laki-laki adalah karena kelemahannya sendiri, yaitu akibat dari kebodohan dan sikap irrasional yang berpegang teguh pada nilai-nilai tradisional.
Golongan radikal justru sejak awal melihat bahwa akar penindasan kaum perempuan adalah dominasi kaum laki-laki, dimana penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki diyakini sebagai bentuk dasar penindasan (Jaggar, 1977). Perubahan kondisi dan posisi kaum perempuan harus dimulai dari individu perempuan itu sendiri.
Golongan marxis memandang penindasan perempuan adalah bagian dari eksploitasi kelas dalam hubungan produksi. Isu perempuan harus diletakkan dalam kerangka kritik atas kapitalisme. Penyebab dasar penindasan perempuan bersifat struktural (akumulasi modal, dan pembagian kerja internasional). Perubahan status perempuan akan terjadi melalui revolusi sosialis dan penghapusan pekerjaan domestik (rumah tangga) melalui industrialisasi.
Kasus Sumiati diatas bisa kita golongkan pada golongan radikal. Sumiati menjadi korban fisik atas kekerasan majikannya, dimana majikannya adalah seorang laki-laki. Sesuai dengan perspektif sosial yang menempel pada seorang perempuan, bahwa perempuan itu lemah lembut dan takut untuk mengungkapkan suatu hal, ini adalah peluang untuk terjadinya kekerasan gender yang dilakukan oleh laki-laki, dan juga semakin terpojoknya kaum yang kita sebut dengan perempuan.
Berikut ini adalah suatu gambaran dari peran wanita pada akhir abad ke 19 dan permulaan abad ke 20, sebagaimana dialami oleh Kartini, Sumiati, dan juga hampir keseluruhan perempuan di Indonesia.
“… ia harus menjadi seperti dewasa, menjadi puteri bangsawan yang sejati. Yang berarti : bicara yang halus dan lirih; tidak boleh tertawa, hanya tersenyum dengan bibir tertutup; berjalan perlahan-lahan; berjongkok dan menundukkan kepala tiap kali bilamana seorang anggota keluarga yang lebih tua lewat; harus dapat ‘berlaku-dodok’ dengan luwes;….”
(Sitisoemandari Soeroto, 1977, hal 52).

Wanita dididik untuk menerima nasib, menurut, patuh, dan melayani suami (yang tidak dipilih sendiri) sebaik-baiknya. Begitu juga dengan Sumiati, dia dituntut untuk menerima nasib dengan kekerasan yang dialami olehnya ditempat dimana dia bekerja. Itulah mengapa, kaum perempuan sering menjadi objek kekerasan gender, ini dikarenakan oleh perspektif sosial yang telah melekat didalamnya.





REFERENSI

Fakih, Mansour. 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Ful. Kasus Sumiati Bukti RI Gagal Sejahterakan Rakyat, http://news.okezone.com/read/2010/11/19/337/394678/kasus-sumiati-bukti-ri-gagal-sejahterakan-rakyat, diakses pada Rabu, 24 November 2010

Munandar, Utami. 1982. Emansipasi Dan Peran Ganda Wanita Indonesia.
Jakarta : Universitas Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar